Literasi Digital Memerlukan Literasi Data
Penyebaran virus Corona baru baru ini juga diikuti penyebaran berita berita hoaks tentangnya. Di Indonesia saja telah ditemukan oleh Kominfo sebanyak 850 hoaks yang ditemukan terhitung hingga sejak 23 januari – 15 juni 2020. Secara rata rata sekitar 6,2 hoaks dibuat dan disebarkan setiap hari. (www.kominfo.go.id). Penyebaran hoaks mengenai virus corona lebih cepat dibanding penyebaran virusnya sendiri. Penyebaran hoaks tersebut juga membawa serta penyebaran kecemasan. Apalagi ketika musim politik, hoaks makin masif tersebar dengan dukungan para buzzer berbayar. Berdasarkan data dari kominfo total ada 1.731 hoaks sejak Agustus 2018-April 2019. Hoaks meningkat menjelang gelaran pencoblosan Pemilu pada 17 April 2019.
Ditambah lagi dengan fenomena Doxing yang makin marak belakangan ini. Banyak kalangan menjadi korban doxing, terutama aktivis kemanusiaan dan para jurnalis. Dikutip oleh Kompas 17 Februari 2020, salah satu aktivis mengaku sempat panik saat tahu jadi korban doxing. Dua fotonya diedit dengan bagian tubuh yang dikaburkan sehingga menimbulkan kesan dalam keadaan tanpa busana. Foto-foto itu lantas ditambahi narasi. Ia menemukan tidak kurang dari 76 akun Twitter, tiga akun di Instagram, dan sebagian di Facebook telah menyebarkan dokumen tersebut. Doxing berasal dari kata document yang ada di kalangan peretas. Muncul pada era 90-an, istilah ini diartikan sebagai kegiatan pengumpulan dokumen mengenai informasi pribadi seseorang dengan maksud untuk melakukan ‘penyerangan’ terkait informasi yang dimiliki. Dengan semakin canggihnya teknologi editing, baik editing terhadap gambar bahkan video, makin sulit membedakan mana yang asli dan tidak.
Hoaks adalah informasi tidak benar hasil misinformasi dan disinformasi. Penyebaran hoaks dengan tema apapun akan merusak tatanan masyarakat. Ancaman hoaks di Indonesia sudah sistemik. Ancaman hoaks politik telah membelah masyarakat dengan bumbu ujaran kebencian, bias politik, serta sentimen sara. Ketahanan masyarakat masih rendah menghadapi manipulasi informasi, bahkan menurut hasil survey Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi pada Maret-November 2019, menyajikan temuan bahwa level pendidikan seseorang tidak menjamin daya tahan arus luapan informasi di era digital.
Diperlukan literasi digital terhadap masyarakat untuk menangkal informasi tidak benar. Menurut UNESCO, literasi digital didefinisikan sebagai kemampuan memakai teknologi digital mulai dari mencari, mengevaluasi, hingga mengkomunikasikan informasi digital. Artinya memang literasi digital atau “melek Digital” tidak terlepas dengan literasi informasi atau “melek informasi”. Literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi secara efektif dan etis. Literasi informasi berperan sebagai alat untuk memilah informasi-informasi tersebut, agar yang berguna dapat tetap dimanfaatkan secara maksimal dan sebaliknya, informasi yang hanya berpotensi menjadi sampah akan dapat difilter. Sedang bahan dasar informasi adalah data. Informasi adalah hasil olahan data. Sehingga literasi data menjadi titik awal untuk mengembangkan literasi digital.
Diperlukan segera pendidikan bijak menggunakan teknologi digital, terutama terkait media digital, informasi dan data. Mengingat bentuk data muncul dengan berbagai tipe, baik text, suara, gambar ataupun video, maka pendidikan literasi digital juga berarti pendidikan memahami data. Ketika berhadapan dengan data, seseorang akan menjalani rangkaian proses membaca, memahami, menggunakan, mengevaluasi, hingga merefleksikan data tersebut. Meskipun sudah beberapa tahun sudah ada usaha dari berbagai kalangan untuk mencegah hoaks, baik dari pemilik platform, pemerintah dan bahkan banyak Lembaga masyarakat yang meluncurkan aplikasi pengecekan hoaks, namun konten hoaks terus bertambah dan terus menyebar. Artinya memang perlu menyiapkan pengguna ranah digital agar siap dengan serbuan informasi yang datang dengan cepat dan melimpah.
Negara yang memiliki daya tahan tinggi menangkal disinformasi adalah Finlandia, Denmark, Belanda, Swedia dan Estonia sebagai top the Media Literacy Index 2019 hasil Open Society Institute. Finlandia menempati urutan 1. Di Finlandia pengajaran literasi digital dan pengecekan fakta secara sederhana sudah dikenalkan di sekolah sekolah. Publik bisa mengakses secara gratis modul pengecekan yang dikenal dengan Modul Checking for Educators and Future Voters, dan dicontoh guru dalam kegiatan mengajar. Modul memberi panduan sederhana bagaimana mengajarkan literasi digital dalam kegiatan mengajar sehari-hari. Murid dilibatkan dalam meneliti kebenaran isu atau klaim dengan observasi dan pengecekan fakta yang kemudian dipresentasikan dan didiskusikan Bersama.
“We need to train a new generation of critical minds. We must tackle this issue through improved news literacy, and it is the task of our educators and society at large to teach children how to use doubt intelligently and to understand that uncertainty can be quantified and measured,” Kata Jean-Pierre Bourguignon, President of the European Research Council dalam the World Economic Forum’s Annual Meeting of the New Champions in September 2018. Dan kata Direktur Indonesia New Media Watch yang juga anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, dikutip Kompas 22 Januari 2020, mengatakan bahwa literasi digital adalah kebutuhan dan keharusan yang harus segera diterapkan, terutama saat masyarakat terpapar internet, tetapi literasinya rendah. “ Tak perlu kita tanyakan lagi apakah kita bisa atau tidak. Sebab, opsi-nya hanya dua: mau terlambat mengajarkan literasi digital atau sangat terlambat?”